CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu
tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan
perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap
sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. Contoh bentuk
tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan,
pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk
pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat
yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya
masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate
Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang
mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSRtimbul sejak
era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang
adalah lebih penting daripada sekedar profitability.
Seberapa jauhkah CSR berdampak positif bagi masyarakat ?
CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat; ini akan sangat
tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain,
terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan,
peran pemerintah yang terkait dengan CSRmeliputi pengembangan kebijakan
yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi
pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi.
Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan
pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial.
Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi
di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan
kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus
berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate
Social Responsibilty). Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang
penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten.
Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi
penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar
ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku
bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang
lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu
pihak terhadap yang lain.
Contoh perusahaan yang menerapkan CSR (Corporate Social Responsibility), PT. HM Sampoerna
PT. HM Sampoerna dengan dana yang melimpah, menawarkan kegiatan
sosial yang dilakukan untuk kepentingan masyarakat. Tidak mau kalah
dengan PT. HM Sampoerna, PT. Djarum Indonesia menawarkan banyak program
yang dilakukan untuk masyarakat, antara lain Djarum Bakti Pendidikan,
Djarum Bakti Lingkungan, dan Djarum Bakti Olahraga. Bentuk dari Djarum
Bakti Pendidikan dan Djarum Bakti Olahraga adalah pemberian beasiswa
kepada siswa berprestasi namun tidak mampu secara ekonomi atau siswa
yang berprestasi baik di bidang akademik maupun olahraga (khususnya
olahraga bulu tangkis).
Di mata sebagian besar pemilik perusahaan dan jajaran direksi perusahaan, istilah corporate social responsibility(CSR)
dipandang hanya sebagai tindakan filantropi. CSR ditempatkan sebagai
derma perusahaan atau bahkan sedekah pribadi. Selain itu, terdapat juga
pandangan yang cukup kuat di mata pelaku bisnis yang memandang CSR
sebagai strategi bisnis. CSR dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai
dan meningkatkan tujuan ekonomi melalui aktivitas sosial.
Dalam beberapa iklan rokok di televisi, dapat dilihat bahwa iklan
rokok menyentuh sisi kepedulian sosial. Pemberian beasiswa pendidikan
bagi masyarakat yang kurang mampu dipublikasikan secara dramatis,
sehingga iklan rokok bukan saja mengagumkan, namun juga mampu menyentuh
solidaritas kemanusiaan. Setelah PT. HM Sampoerna dengan jargon
”Sampoerna untuk Indonesia” banyak menampilkan sumbangsih mereka untuk
mencerdasakan bangsa, belakangan PT Djarum menampilkan hal senada.
Kendati sebagian orang mengetahui bahwa kegiatan ”Sampoerna untuk
Indonesia” dikelola oleh Sampoerna Foundation yang secara manajerial
terpisah dan independen dari PT HM Sampoerna, namun semua orang mafhum
bahwa publikasi itu memiliki relasi dengan pemasaran (caused related marketing) dengan produk rokok Sampoerna. Demikian pula halnya Beasiswa Djarum atau Diklat Bulu Tangkis Djarum.
http://www.usaha-kecil.com/pengertian_csr.html
http://rahadiandimas.staff.uns.ac.id/?p=755
Rabu, 28 November 2012
Prinsip Etis Dalam Bisnis
PRINSIP ETIS DALAM BISNIS
Sumber : http://ilmar-education.blogspot.com/2011/01/teori-etika-dan-prinsip-etis-dalam.html
Bisnis
dapat diartikan sebagai kegiatan memproduksi dan menjual barang dan
jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kegiatan bisnis terjadi karena
keinginan untuk saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing manusia,
dan masing-masing pihak tentunya memperoleh keuntungan dari proses
tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa pada umumnya orang berpendapat
bahwa bisnis adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Untuk
memaksimumkan keuntungan tersebut, maka tidak dapat dihindari sikap dan
perilaku yang menghalalkan segala cara yang sering tidak dibenarkan oleh
norma moral.
Kalau
memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan
sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Mengapa begitu? Jika
keuntungan menjadi satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan
dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang
bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi, memperalat karyawan karena alasan
apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Dengan itu
dilanggar suatu prinsip etis yang paling mendasar kita selalu harus
menghormati martabat manusia. Immanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18,
menurutnya prinsip etis yang paling mendasar dapat dirumuskan sebagai
berikut: “hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan
pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka”. Mereka tidak boleh
dimanfaatkan semata-mata untuk mencapai tujuan. Misalnya, mereka harus
dipekerjakan dalam kondisi kerja yang aman dan sehat dan harus diberikan
gaji yang pantas.
Sejarah mencatat Revolusi
Industri yang terjadi dari 1760 sampai 1830 dengan tujuan untuk
memaksimalisasi keuntungan, menyebabkan tenaga buruh dihisap begitu
saja, sungguh diperalat. Upah yang diberikan sangat rendah, hari kerja
panjang sekali, tidak ada jaminan kesehatan. Jika buruh jatuh sakit ia
sering diberhentikan dan dalam keadaan lain pun buruh bisa diberhentikan
dengan semena-mena. Lebih parahnya, banyak dipakai tenaga wanita dan
anak dibawah umur, karena kepada mereka bisa diberikan upah lebih rendah
lagi dan mereka tidak mudah memberontak. Hal ini menunjukkan bahwa
maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomis bisa membawa
akibat kurang etis.
Di
satu pihak perlu diakui, bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi.
Di lain pihak keuntungan tidak boleh dimutlakkan. Keuntungan dalam
bisnis merupakan suatu pengertian yang relatif. Ronald Duska (1997)
dalam Bertens (2000), mencoba untuk merumuskan relativitas tersebut
dengan menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose (maksud) dan motive.
Maksud bersifat obyektif, sedangkan motivasi bersifat subyektif.
Keuntungan tidak merupakan maksud bisnis. Maksud bisnis adalah
menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat untuk masyarakat.
Keuntungan hanya sekadar motivasi untuk mengadakan bisnis. Oleh karena
itu, bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung dimutlakkan dan
segi moral dikesampingkan.
Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus, tetapi tidak menjadi tujuan terakhir
bisnis itu sendiri. Oleh karenanya tidak bisa dikatakan lagi bahwa
profit merupakan satu-satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara untuk
melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis, dengan tidak mengabaikan perlunya (Bertens, 2000), adalah sebagai berikut:
· keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan;
· keuntungan adalah pertanda yang menunjukkan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat;
· keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha;
· keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan;
· keuntungan mengimbangi resiko dalam usaha.
Dari
konsep relativitas keuntungan diatas, mengisyaratkan bahwa keuntungan
bukan yang utama dalam bisnis. Persepsi manfaat dari pencapaian
keuntungan harus dirubah, karena bisnis bukan semata-mata untuk
memperoleh keuntungan materiil. Untuk itu prinsip-prinsip etika yang
diterapkan dalam kegiatan bisnis pada perusahaan-perusahaan bisnis,
haruslah mengacu pada stakeholders benefit. Stakeholders
adalah semua pihak yang berkepentingan dengan kegiatan suatu
perusahaan. Pihak berkepentingan internal adalah “orang dalam” dari
suatu perusahaan: orang atau instansi yang secara langsung terlibat
dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang saham, manajer, dan
karyawan. Pihak berkepentingan eksternal adalah “orang luar” dari suatu
perusahaan: orang atau instansi yang tidak secara langsung terlibat
dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat,
pemerintah, lingkungan hidup. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan
perusahaan adalah manfaat semua stakeholders. Misalnya,
tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya kepentingan para
pemegang saham dipertimbangkan. Bukan saja kepentingan para pemegang
saham harus dipertimbangkan tapi juga kepentingan semua pihak lain,
khususnya para karyawan dan masyarakat di sekitar pabrik.
Beberapa prinsip etis dalam bisnis telah dikemukakan oleh Robert C.Solomon
(1993) dalam Bertens (2000), yang memfokuskan pada keutamaan pelaku
bisnis individual dan keutamaan pelaku bisnis pada taraf perusahaan.
Berikut dijelaskan keutamaan pelaku bisnis individual, yaitu:
1. Kejujuran
Kejujuran
secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang
harus dimiliki pelaku bisnis. Orang yang memiliki keutamaan kejujuran
tidak akan berbohong atau menipu dalam transaksi bisnis. Pepatah kuno caveat emptor
yaitu hendaklah pembeli berhati-hati. Pepatah ini mengajak pembeli
untuk bersikap kritis untuk menghindarkan diri dari pelaku bisnis yang
tidak jujur. Kejujuran memang menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran,
namun dalam dunia bisnis terdapat aspek-aspek tertentu yang tetap harus
menjadi rahasia. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa setiap informasi
yang tidak benar belum tentu menyesatkan juga.
2. Fairness
Fairness
adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dan
dengan ”wajar” yang dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua
pihak yang terlibat dalam suatu transaksi.
3. Kepercayaan
Kepercayaan
adalah keutamaan yang penting dalam konteks bisnis. Kepercayaan harus
ditempatkan dalam relasi timbal-balik. Pebisnis yang memiliki keutamaan
ini boleh mengandaikan bahwa mitranya memiliki keutamaan yang sama.
Pebisnis yang memiliki kepercayaan bersedia untuk menerima mitranya
sebagai orang yang bisa diandalkan. Catatan penting yang harus dipegang
adalah tidak semua orang dapat diberi kepercayaan dan dalam memberikan
kepercayaan kita harus bersikap kritis. Kadang kala juga kita harus
selektif memilih mitra bisnis. Dalam setiap perusahaan hendaknya
terdapat sistem pengawasan yang efektif bagi semua karyawan, tetapi
bagaimanapun juga, bisnis tidak akan berjalan tanpa ada kepercayaan.
4. Keuletan
Keutamaan
keempat adalah keuletan, yang berarti pebisnis harus bertahan dalam
banyak situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi yang
terkadang seru tentang proyek atau transaksi yang bernilai besar. Ia
juga harus berani mengambil risiko kecil ataupun besar, karena
perkembangan banyak faktor tidak diramalkan sebelumnya. Ada kalanya ia
juga tidak luput dari gejolak besar dalam usahanya. Keuletan dalam bisnis itu cukup dekat dengan keutamaan keberanian moral.
Selanjutnya, empat keutamaan yang dimiliki orang bisnis pada taraf perusahaan, yaitu:
1. Keramahan
Keramahan
tidak merupakan taktik bergitu saja untuk memikat para pelanggan, tapi
menyangkut inti kehidupan bisnis itu sendiri, karena keramahan itu
hakiki untuk setiap hubungan antar-manusia. Bagaimanapun juga bisnis
mempunyai segi melayani sesama manusia.
2. Loyalitas
Loyalitas
berarti bahwa karyawan tidak bekerja semata-mata untuk mendapat gaji,
tetapi juga mempunyai komitmen yang tulus dengan perusahaan. Ia adalah
bagian dari perusahaan yang memiliki rasa ikut memiliki perusahaan
tempat ia bekerja.
3. Kehormatan
Kehormatan
adalah keutamaan yang membuat karyawan menjadi peka terhadap suka dan
duka serta sukses dan kegagalan perusahaan. Nasib perusahaan dirasakan
sebagai sebagian dari nasibnya sendiri. Ia merasa bangga bila kinerjanya
bagus.
4. Rasa Malu
Rasa
malu membuat karyawan solider dengan kesalahan perusahaan. Walaupun ia
sendiri barang kali tidak salah, ia merasa malu karena perusahaannya
salah.Sumber : http://ilmar-education.blogspot.com/2011/01/teori-etika-dan-prinsip-etis-dalam.html
Langganan:
Postingan (Atom)