Jakarta
Dampak pertandingan yang dirasa aneh ketika Bahrain
mengalahkan Indonesia 10-0, dalam babak lanjutan kualifikasi Piala Dunia
2014, Zona Asia Grup E, membuat FIFA hendak menginvestigasi
pertandingan itu. Pertandingan yang digelar di Stadion Manama, Bahrain,
dirasa aneh karena jumlah gol yang dirasa tidak wajar.
Bagi
Bahrain, pertandingan dengan Indonesia merupakan pertandingan hidup dan
mati. Pertandingan itu peluang terakhir bagi Bahrain untuk bisa
mendampingi Iran, yang telah lolos lebih dahulu dalam babak selanjutnya
setelah menjadi juara grup. Karena peluang
terakhir maka Bahrain
berkeinginan menang besar. Antara Bahrain dan Qatar pada saat yang sama
dituntut untuk menang agar bisa mendampingi Iran.
Bagi pihak
Indonesia kekalahan itu tidak bisa diterima karena dirasa wasit dari
Lebanon, Andre El Haddad, berat sebelah alias tidak adil. Pertandingan
baru berlangsung beberapa menit, eh, kiper tim nasional Indonesia,
Samsidar, sudah diberi kartu merah. Dan lebih aneh lagi 4 hadiah penalti
diberikan El Haddad kepada tim nasional Bahrain. Apa yang dilakukan El
Haddad ini bisa masuk rekor Muri atau Guinnes Record of The World.
Obral
penalti dan kartu merah termasuk kepada pelatih tim nasional Indonesia,
Aji Santoso, dilakukan El Haddad bisa jadi sebagai cara agar tim
nasional Bahrain berhasil dalam mengejar setoran. Maksudnya agar Bahrain
bisa lolos, ia harus menang dengan 9 gol, dan berharap agar Qatar harus
kalah dengan Iran. Namun niat busuk Bahrain itu terhadang dari
keseriusan Qatar berlaga.
Qatar akhirnya mampu mengimbangi Iran
dengan hasil akhir, 2-2. Hujan gol di gawang Indonesia itu sempat
membuat pelatih Qatar, Paulo Autuori, gugup. Sebab saat skor 8-0, Qatar
masih tertinggal 2-1 dari Iran. Bagi Autuori, pertandingan dengan gol
tidak wajar itu belum pernah ia tonton sepanjang dirinya menjadi pemain
dan pelatih sepakbola. Menurutnya ada hal yang aneh dalam pertandingan
itu. Ia pun mendukung investigasi yang dilakukan FIFA.
Namun
kalau secara objektif kekalahan tim nasional Indonesia sendiri kalau
diselusuri juga banyak faktornya. Konflik di tubuh PSSI dengan lahirnya
dua kompetisi, IPL dan ISL, membuat Aji Santoso tidak bebas memilih
pemain atau ada namun pilihannya sangat terbatas. Akibatnya komposisi
pemain yang ada, banyak yang mengatakan, di bawah standar, misalnya
Irfan Bachdim yang telah dicoret oleh Rahmad Dharmawan karena tidak
disiplin dalam Tim Nasional U-23 dan Irfan Bachdim tidak dipanggil oleh
Risjberger karena tidak memiliki kualifikasi dalam tim nasional senior,
namun oleh Aji Santoso dipanggil dalam skuad-nya. Akibat di bawah
standar, membuat Ferdinand Sinaga harus sering menyerang sendirian,
padahal ia berpasangan dengan Irfan Bachdim sebagai ujung tombak. Ke
mana Irfan Bachdim selama 90 menit itu? Dalam twitter-nya pun Irfan
mengakui dan meminta maaf atas permainannya yang jelek.
Kemudian
pengganti Samsidar, Andi Muhammad Guntur, juga demikian. Meski ia
terbilang cekatan, berhasil memblok satu tendangan penalti, namun Andi
melakukan kesalahan beberapa kali, yakni memegang bola di luar kotak
gawang. Di sini menunjukkan bahwa Andi kurang pengalaman.
Dalih
PSSI memberi kesempatan kepada pemain muda untuk mencari pengalaman,
baik-baik saja. Namun kalau pemain masih sangat muda, usia di bawah umur
23 dan umur 21, diberi kesempatan bertanding sekelas Piala Dunia itu
sangat ceroboh sekali. Seharusnya mereka diberi kesempatan bertanding
untuk lingkup Asia Tenggara. Di sini PSSI terlalu bernafsu mengejar
pembinaan.
PSSI mungkin mengaca bahwa negara-negara di Eropa dan
Amerika Latin memberi kesempatan kepada pemain-pemain muda untuk bermain
di tim nasional sepakbolanya. Namun PSSI tidak melihat bahwa mereka
bisa main dalam tim nasionalnya karena para pemain muda itu memiliki
bakat, talenta, dan pengalaman yang luar biasa. Lionel Messi yang masih
muda bisa masuk Tim Nasional Argentina karena memiliki bakat, talenta,
dan pengalaman yang luar biasa. Demikian juga Mesut Ozil, pemain muda
dan naturalisasi, bisa masuk dalam Tim Nasional Jerman karena juga
memiliki bakat, talenta, dan pengalaman yang luar biasa.
Investigasi
yang hendak dilakukan FIFA merupakan langkah yang baik dan perlu kita
dukung. Investigasi itu bisa mengungkap ‘sepakbola gajah’ yang dilakukan
El Haddad dan BFA (Bahrain Football Association). Bila sepakbola gajah
terungkap, maka El Haddad dan BFA bisa dikenai sanksi. Dan mereka pantas
menerima sanksi karena tidak sportif dalam kancah sepakbola tertinggi
di dunia. Merusak citra sportifitas olahraga.
Sepakbola Gajah
adalah istilah yang popular di tahun 1988. Dalam wikipedia disebut saat
menjuarai Kompetisi Perserikatan pada tahun 1988, Persebaya memainkan
pertandingan yang terkenal dengan istilah sepak bola gajah karena
mengalah kepada Persipura Jayapura 0-12, untuk menyingkirkan saingan
mereka PSIS Semarang yang pada tahun sebelumnya memupuskan impian
Persebaya di final kompetisi perserikatan. Taktik ini setidaknya membawa
hasil dan Persebaya berhasil menjadi juara perserikatan tahun 1988
dengan menyingkirkan Persija 3 – 1.
Namun investigasi FIFA itu
bila tidak diantisipasi oleh pengurus PSSI juga akan bisa menjatuhkan
hukuman kepada Indonesia. Investigasi FIFA pasti tidak hanya kepada El
Haddad dan BFA, namun juga kepada PSSI. Investigasi FIFA akan
mempertanyakan mengapa Indonesia bisa kalah telak. Dari investigasi itu,
FIFA akan menemukan fakta bahwa pelatih tim nasional Indonesia tidak
memiliki banyak pilihan dalam menyusun skuad. Ini bisa terjadi karena
adanya kekisruhan dalam kepengurusan PSSI dengan bukti lahirnya dua
sistem kompetisi, ISL dan IPL. Investigasi FIFA ke Indonesia bisa
menyimpulkan bahwa Indonesia sendiri tidak serius dalam membangun tim
yang handal.
Banyaknya pemain yang mempunyai talenta, bakat, dan
pengalaman, namun karena ada kekisruhan menyebabkan tidak bisanya
Indonesia menyusun tim nasional yang kuat, sehingga bisa kalah telak
dengan Bahrain. Masalah-masalah yang ada di PSSI, bisa membuat FIFA
menjatuhkan sanksi.
Sumber :Detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar