Senin, 05 Maret 2012

Investigasi FIFA dan SepakBola

Jakarta Dampak pertandingan yang dirasa aneh ketika Bahrain mengalahkan Indonesia 10-0, dalam babak lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2014, Zona Asia Grup E, membuat FIFA hendak menginvestigasi pertandingan itu. Pertandingan yang digelar di Stadion Manama, Bahrain, dirasa aneh karena jumlah gol yang dirasa tidak wajar.

Bagi Bahrain, pertandingan dengan Indonesia merupakan pertandingan hidup dan mati. Pertandingan itu peluang terakhir bagi Bahrain untuk bisa mendampingi Iran, yang telah lolos lebih dahulu dalam babak selanjutnya setelah menjadi juara grup. Karena peluang
terakhir maka Bahrain berkeinginan menang besar. Antara Bahrain dan Qatar pada saat yang sama dituntut untuk menang agar bisa mendampingi Iran.

Bagi pihak Indonesia kekalahan itu tidak bisa diterima karena dirasa wasit dari Lebanon, Andre El Haddad, berat sebelah alias tidak adil. Pertandingan baru berlangsung beberapa menit, eh, kiper tim nasional Indonesia, Samsidar, sudah diberi kartu merah. Dan lebih aneh lagi 4 hadiah penalti diberikan El Haddad kepada tim nasional Bahrain. Apa yang dilakukan El Haddad ini bisa masuk rekor Muri atau Guinnes Record of The World.

Obral penalti dan kartu merah termasuk kepada pelatih tim nasional Indonesia, Aji Santoso, dilakukan El Haddad bisa jadi sebagai cara agar tim nasional Bahrain berhasil dalam mengejar setoran. Maksudnya agar Bahrain bisa lolos, ia harus menang dengan 9 gol, dan berharap agar Qatar harus kalah dengan Iran. Namun niat busuk Bahrain itu terhadang dari keseriusan Qatar berlaga.

Qatar akhirnya mampu mengimbangi Iran dengan hasil akhir, 2-2. Hujan gol di gawang Indonesia itu sempat membuat pelatih Qatar, Paulo Autuori, gugup. Sebab saat skor 8-0, Qatar masih tertinggal 2-1 dari Iran. Bagi Autuori, pertandingan dengan gol tidak wajar itu belum pernah ia tonton sepanjang dirinya menjadi pemain dan pelatih sepakbola. Menurutnya ada hal yang aneh dalam pertandingan itu. Ia pun mendukung investigasi yang dilakukan FIFA.

Namun kalau secara objektif kekalahan tim nasional Indonesia sendiri kalau diselusuri juga banyak faktornya. Konflik di tubuh PSSI dengan lahirnya dua kompetisi, IPL dan ISL, membuat Aji Santoso tidak bebas memilih pemain atau ada namun pilihannya sangat terbatas. Akibatnya komposisi pemain yang ada, banyak yang mengatakan, di bawah standar, misalnya Irfan Bachdim yang telah dicoret oleh Rahmad Dharmawan karena tidak disiplin dalam Tim Nasional U-23 dan Irfan Bachdim tidak dipanggil oleh Risjberger karena tidak memiliki kualifikasi dalam tim nasional senior, namun oleh Aji Santoso dipanggil dalam skuad-nya. Akibat di bawah standar, membuat Ferdinand Sinaga harus sering menyerang sendirian, padahal ia berpasangan dengan Irfan Bachdim sebagai ujung tombak. Ke mana Irfan Bachdim selama 90 menit itu? Dalam twitter-nya pun Irfan mengakui dan meminta maaf atas permainannya yang jelek.

Kemudian pengganti Samsidar, Andi Muhammad Guntur, juga demikian. Meski ia terbilang cekatan, berhasil memblok satu tendangan penalti, namun Andi melakukan kesalahan beberapa kali, yakni memegang bola di luar kotak gawang. Di sini menunjukkan bahwa Andi kurang pengalaman.

Dalih PSSI memberi kesempatan kepada pemain muda untuk mencari pengalaman, baik-baik saja. Namun kalau pemain masih sangat muda, usia di bawah umur 23 dan umur 21, diberi kesempatan bertanding sekelas Piala Dunia itu sangat ceroboh sekali. Seharusnya mereka diberi kesempatan bertanding untuk lingkup Asia Tenggara. Di sini PSSI terlalu bernafsu mengejar pembinaan.

PSSI mungkin mengaca bahwa negara-negara di Eropa dan Amerika Latin memberi kesempatan kepada pemain-pemain muda untuk bermain di tim nasional sepakbolanya. Namun PSSI tidak melihat bahwa mereka bisa main dalam tim nasionalnya karena para pemain muda itu memiliki bakat, talenta, dan pengalaman yang luar biasa. Lionel Messi yang masih muda bisa masuk Tim Nasional Argentina karena memiliki bakat, talenta, dan pengalaman yang luar biasa. Demikian juga Mesut Ozil, pemain muda dan naturalisasi, bisa masuk dalam Tim Nasional Jerman karena juga memiliki bakat, talenta, dan pengalaman yang luar biasa.

Investigasi yang hendak dilakukan FIFA merupakan langkah yang baik dan perlu kita dukung. Investigasi itu bisa mengungkap ‘sepakbola gajah’ yang dilakukan El Haddad dan BFA (Bahrain Football Association). Bila sepakbola gajah terungkap, maka El Haddad dan BFA bisa dikenai sanksi. Dan mereka pantas menerima sanksi karena tidak sportif dalam kancah sepakbola tertinggi di dunia. Merusak citra sportifitas olahraga.

Sepakbola Gajah adalah istilah yang popular di tahun 1988. Dalam wikipedia disebut saat menjuarai Kompetisi Perserikatan pada tahun 1988, Persebaya memainkan pertandingan yang terkenal dengan istilah sepak bola gajah karena mengalah kepada Persipura Jayapura 0-12, untuk menyingkirkan saingan mereka PSIS Semarang yang pada tahun sebelumnya memupuskan impian Persebaya di final kompetisi perserikatan. Taktik ini setidaknya membawa hasil dan Persebaya berhasil menjadi juara perserikatan tahun 1988 dengan menyingkirkan Persija 3 – 1.

Namun investigasi FIFA itu bila tidak diantisipasi oleh pengurus PSSI juga akan bisa menjatuhkan hukuman kepada Indonesia. Investigasi FIFA pasti tidak hanya kepada El Haddad dan BFA, namun juga kepada PSSI. Investigasi FIFA akan mempertanyakan mengapa Indonesia bisa kalah telak. Dari investigasi itu, FIFA akan menemukan fakta bahwa pelatih tim nasional Indonesia tidak memiliki banyak pilihan dalam menyusun skuad. Ini bisa terjadi karena adanya kekisruhan dalam kepengurusan PSSI dengan bukti lahirnya dua sistem kompetisi, ISL dan IPL. Investigasi FIFA ke Indonesia bisa menyimpulkan bahwa Indonesia sendiri tidak serius dalam membangun tim yang handal.

Banyaknya pemain yang mempunyai talenta, bakat, dan pengalaman, namun karena ada kekisruhan menyebabkan tidak bisanya Indonesia menyusun tim nasional yang kuat, sehingga bisa kalah telak dengan Bahrain. Masalah-masalah yang ada di PSSI, bisa membuat FIFA menjatuhkan sanksi.

Sumber :Detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar